Selasa, 02 Februari 2010

HARMONISASI FILOSIFI MASYARAKAT MBOJO DAN KEBERHASILAN PNPM-MP (CATATAN KRITIS PERJALANAN KE KOTA BIMA)

HARMONISASI FILOSIFI MASYARAKAT MBOJO DAN KEBERHASILAN PNPM-MP
(CATATAN KRITIS PERJALANAN KE KOTA BIMA)


“Kota Bima menyimpan kekayaan budaya, keindahan alam nan eksotis, keramahan dan filosofi hidup masyarakatnya yang adiluhung, merupakan lahan subur untuk persemaian nilai-nilai luhur kemanusiaan dan kemasyarakatan yang dikembangkan oleh PNPM-Mandiri Perkotaan”.

Awal bulan Oktober 2009, Tim OC VII Nusa Tenggara Barat (NTB) yang terdiri dari Team Leader, TA Manajemen Keuangan, TA Infrastruktur, Senior Asmandat dan Subprof Financial berkesempatan untuk mengunjungi Kota Bima sebagai salah satu wilayah dampingan yang memiliki letak geografis paling jauh, tepatnya diujung timur pulau Sumbawa dan wilayah kota paling timur dari Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Mengunjungi Kota Bima memerlukan waktu sekitar 12 jam perjalanan darat dari Kota Mataram, menghindari sengatan terik matahari maka kami memilih perjalanan pada malam hari, berangkat pada pukul 12.00 WITA dengan menyusuri jalan poros Pulau Lombok, sampai di pelabuhan khayangan kabupaten Lombok Timur pada pukul 01.30.WITA. Tak berselang lama, Kapal penyeberangan menuju pulau Sumbawa telah diberangkatkan, tepat pada pukul 03.45 WITA. Kami semua sampai di pelabuhan Pototano Kabupaten Sumbawa dengan selamat.


Jingga masih temaram menghias langit diufuk timur, kami terus menyusuri jalanan Pulau Sumbawa yang mulus berkelok, terlihat kalau baru saja di perbaiki oleh PU Binamarga. Di temani mangrove, rimbunnya hutan, pantai laut Sumbawa yang elok dan kawanan sapi yang sesekali menyeberang jalan tak menggunakan tanda sebelumnya karena mereka mengira itu adalah wilayahnya, makhluk lain harus mengikuti aturan mainnya, membuat kami terus terjaga dan meningkatkan kewaspadaan agar laju kendaraan tak terhalang. Bilal telah mengumandangkan azdan bersahutan dari rumah-rumah Allah yang bertebaran disepanjang permukiman, kami singgah di sebuah surau kecil yang terletak di Dusun Kanar Kabupaten Sumbawa untuk menunaikan sholat shubuh berjama’ah. Khawatir kehilangan banyak waktu, kami melanjutkan perjalanan setelah menikmati segelas kopi dan pisang goreng diwarung sebelah surau tempat kami menunaikan sholat. Mentari telah datang mengantarkan pagi yang cerah, kilauan sinarnya mengusir kabut malam pertanda hari telah berganti, kami sampai di Kota Sumbawa Besar dan berhenti sejenak memenuhi panggilan perut yang terus berdendang menuntut haknya.


Jalanan panjang berliku terus membentang seperti tak berujung, keloknya kadang ekstrim hampir mendekati sudut 90 Derajat, turunnya sangat curam, naiknya sangat terjal dan hiasan lubang tak lagi dapat dihindari, itulah ilustrasi jalanan yang mengantarkan kami dari Kabupaten Sumbawa Besar menuju Kabupaten Dompu, sebuah perjalanan menegangkan sekaligus even adventure bagi para “pemberani”, seperti sebuah iklan produk rokok yang sering tayang di televisi. Dari Kabupaten Dompu jalanan telah terasa nyaman, hanya sesekali hiasan lubang dan kulit aspal yang terkelupas menyapa roda kendaraan kami, Matahari telah condong ke barat, sinarnya tak lagi menyengat seperti sebelumnya, terhampar teluk nan indah disepanjang jalan yang semakin nyaman, tatanan rumah penduduk dan bangunan berjejer rapi diujung sana, seperti menyampaikan pesan kepada kami “Selamat Datang di bumi Dana Mbojo” eureka….! Kami telah sampai di Kota Bima dan akan menginjakkan kaki di bumi para ksatria. Tibalah kami di hotel Lambitu untuk melepas penat dan membayar kantuk setelah semalaman menghiburnya untuk selalu terjaga, kami memenuhi kebutuhan perut dan mengguyur jasad yang telah layu, setelah itu beristirahat dengan lelap untuk menjemput tugas kunjungan lapang di hari esok.



Harmonisasi filosofi masyarakat Bima dan substansi PNPM-Mandiri Perkotaan



Wilayah dampingan PNPM-Mandiri Perkotaan di Kota Bima terdiri dari 5 Kecamatan : Rasanae Barat, Rasanae Timur, Asakota, Mpunda dan Raba, seluruhnya berjumlah 37 Desa/Kelurahan dengan kategori status wilayah; 25 Desa/Kelurahan (Lama dan Lanjutan) serta 12 Desa/Kelurahan Baru (Setelah terjadi pemekaran wilayah). Intervensi Program telah dimulai dari tahun 2004, ketika itu masih disebut dengan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) lalu bermetamorfosis menjadi PNPM-Mandiri Perkotaan pada era pemerintahan presiden SBY. Sebuah Program nasional yang spektakuler dalam upaya penanggulangan kemiskinan secara efektif, mandiri dan berkelanjutan dengan mengusung tujuan “Meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin, melalui perbaikan social ekonomi dan tata-pemerintahan yang bijak dan berpihak pada kebutuhan masyarakat”. Dalam tataran implementatif, PNPM-Mandiri perkotaan melakukan serangkaian tahapan kegiatan pembelajaran masyarakat maupun di tingkat Pemerintah Daerah yang disebut dengan “Siklus PNPM-MP”, dengan mengadopsi pendekatan “Pemberdayaan (Empowerment)”. Sebab sangat disadari oleh para pelaku PNPM-MP bahwa kemajuan dan kesejahteraan suatu bangsa akan dapat dicapai dengan hasil yang maksimal apabila telah terjadi keseimbangan kemampuan (Kapasitas) dan kerjasama sinergis antara masyarakat selaku penerima manfaat kebijakan dengan pemerintah selaku pengambil kebijakan.


Dalam rangkaian kunjungan lapang, kami melihat hasil pelaksanaan kegiatan masyarakat dari aspek infrastruktur, ekonomi dan kelembagaan, di Kelurahan Ntobo, Lampe, Tanjung, Na’e, Rontu Rabadhompu dan Kolo. Dari hasil interaksi dengan masyarakat, anggota BKM, UP-UP, Pemerintah Kelurahan dan tim fasilitator Kota Bima, ditambah dengan kajian referensi social budaya masyarakat Bima, sesungguhnya telah terjadi “Harmonisasi antara filosofi masyarakat Bima dengan substansi yang dikandung oleh PNPM-MP”. Dalam tatanan agung masyarakat Bima sejak zaman raja-raja dan kesultanan Bima telah hidup dan berkembang secara massif, filosofi “MAJA LABO DAHU” artinya “MALU DAN TAKUT”, mengandung pengertian bahwa pemerintah dan masyarakat akan merasa takut dan malu pada dirinya sendiri dan kepada Tuhan apabila tidak mampu melaksanakan fungsi dan kewajibannya sesuai dengan hasil musyawarah dan atau Karawi Kaboju yang dilandasi oleh syari’at Islam. Maja Labo Dahu merupakan falsafah hidup yang mengandung nilai-nilai luhur ditengah pemerintahan dan masyarakat yang beradab.


Dalam perkembangannya, Maja Labo Dahu menjadi sumber inspirasi lahirnya 4 (Empat) falsafah lainnya ditengah pemerintahan dan masyarakat Bima; (1). Tohompara Nahu Sura Dou Labo Danana, artinya “Biarkan aku (Sultan dan atau para pamong praja) menderita, asalkan demi kepentingan rakyat dan Negara”. (2). Edera Nahu Sura Dou Marimpa, maknanya “Keberadaan kami (Sultan dan atau para Pamong praja) tidak terlalu penting, yang utama adalah kebutuhan masyarakat dan kepentingan Negara”. Hal ini memunculkan sikap patriotisme pengabdian para penyelenggara Negara untuk mengutamakan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat serta mengabaikan kepentingan pribadi maupun golongan. (3). Renta Ba Rera, Kapoda Ba Ade Karawi Ba Weki maksudnya”Sesuatu yang telah diikrarkan oleh lidah yang bersumber dari hati nurani, selayaknya mampu diwujudkan oleh raga dan jasmani”. Hal ini memunculkan sikap komitmen dan konsisten para penyelenggara Negara dalam mewujudkan sumpah serta janji yang telah terucap untuk memperjuangkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan Negara. (4). Nggahi Rawi Pahu, memiliki makna “Sesuatu yang telah diikrarkan bersama, harus dapat diwujudkan dalam karya nyata”. Patron tersebut menstimulir para penyelenggara Negara dan masyarakat untuk berlomba-lomba memberikan kontribusi optimal dalam pembangunan bangsa dan Negara. Sungguh falsafah hidup yang adiluhung tiada bandingannya, selaras dan simetris dengan paradigma yang dikembangkan oleh PNPM-MP tentang pentingnya modal social yang bersumber dari rasa persatuan, kebersamaan dan persaudaraan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, terutama penyelesaian persoalan kemiskinan yang sangat komplek.


Realitas lapang yang tak terbantahkan, bahwa serangkaian konsep dan substansi PNPM-MP yang diimplementasikan melalui tahapan kegiatan sistematis dalam konteks pembelajaran ditingkat masyarakat dan pemerintah Daerah, bukanlah sesuatu yang baru dan asing ditengah dinamika masyarakat dan pemerintah, namun tatanan nilai dan peradaban yang telah lama hidup serta diwariskan oleh para nenek moyang kepada generasi penerusnya, menuntun pada aras kesadaran bahwa masyarakat dan pemerintah di Kota Bima memiliki potensi besar sebagai lahan subur untuk persemaian prinsip, nilai dan norma-norma yang dikembangkan oleh PNPM-MP, menghadirkan keyakinan bahwa selayaknya implementasi PNPM-MP di Kota Bima menuai hasil maksimal sebagaimana tujuan dan cita-cita yang dikandung oleh PNPM-MP, yaitu terwujudnya masyarakat dan pemerintah daerah yang efektif dan mandiri dalam memenuhi seluruh kebutuhannya, terutama upaya penanggulangan kemiskinan dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan.


Implementasi PNPM-MP di Kota Bima, antara tantangan dan harapan


Kajian filosofis tersebut diatas, menghadirkan asa dan optimisme yang harus diinternalisir oleh seluruh pelaku ditingkat lapang, sebab keberadaannya tidak maya dan eksistensinya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, fenomena kontemporer yang memaparkan fakta kontradiktif terhadap hasil pendampingan lapang adalah sebuah tantangan yang harus dicermati secara komprehensif dan dianalisa secara kritis, sebagai berikut :


1. Mengapa kelembagaan local yang secara generic disebut dengan BKM/LKM sebagai institusi pengambil kebijakan di tengah masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat dan inisiator pembangunan belum berfungsi secara optimal?.
2. Mengapa Pimpinan Kolektif BKM yang digagas sebagai produsen tatanilai untuk membangkitkan filosofi Maja Labo Dahu di tanah Mbojo belum di huni pribadi-pribadi pilihan sebagaimana yang diharapkan?.
3. Mengapa dana pinjaman bergulir sebagai asetbase masyarakat yang harus dijaga kelestariannya dalam mendukung upaya penanggulangan kemiskinan mengendap di masyarakat dan tersendat pengembaliannya, dimanakah semangat Nggawi Rawi Pahu?.
4. Mengapa pekerjaan pembangunan infrastruktur yang dipercayakan kepada masyarakat dalam pelaksanaannya masih belum menunjukkan peningkatan kwalitas bahkan terdapat beberapa penyelewengan dana ditengah masyarakat, dimanakah semangat Renta Ba Rera, Kapoda Ba Ade Karawi Ba Weki, bersemayam?.
5. Mengapa belum terjadi kerjasama sinergis antara masyarakat dengan pemerintah daerah dalam mendukung keberhasilan pembangunan dan keberdayaan masyarakat, terutama masyarakat miskin, dimanakah semangat Tohompara Nahu Sura Dou Labo Danana dan Edera Nahu Sura Dou Marimpa, dijunjung tinggi?.


Setidaknya lima pertanyaan reflektif tersebut dapat mengantarkan para pelaku lapang, terutama tim korkot dan tim fasilitator yang mengambil peran sebagai “Agent Of Change” dan berdiri sebagai seorang pemberdaya tidak kedap terhadap perubahan namun tanggap bersikap dan memiliki intuisi yang dapat diandalkan untuk melakukan serangkaian kajian dalam upaya menemukan solusi alternative terhadap pelbagai persoalan tersebut, bahkan tidak selalu ber-argumentasi kompulsif bahwa kondisi mental masyarakat dan budaya modernisasi telah mereduksi seluruh ranah adat dan keluhuran budi masyarakat Mbojo yang menjadi penyebabnya, kemudian menjalankan kegiatan PNPM-MP secara pragmatis dan normative ber-orientasi pada project semata.


Catatan sederhana ini diharapkan dapat menggugah kesadaran para pelaku sesuai dengan domainnya masing-masing bahwa persoalan selalu datang silih berganti bukan untuk dijadikan hambatan dalam pencapaian tujuan namun dipersepsikan sebagai tantangan yang harus dapat ditaklukkan, sebab kita semua pasti memilih predikat sebagai “Pemenang” dan bukan “Pecundang”. Faktanya Bumi Mbojo memiliki potensi besar sebagai pionir keberhasilan PNPM-MP yang berarti pula keberhasilan seluruh civitasnya, seluruh praktisi seharusnya konsisten membangun harapan, sebab hidup adalah merenda harapan, dari harapan satu kepada harapan lainnya. Termasuk membangun harapan besar dalam waktu yang semakin sempit, agar PNPM-MP dapat membawa peningkatan kesejahteraan serta kemakmuran masyarakat Mbojo (Buminya para kesatria). Wallahu ‘alam bisshowab.




Ditulis oleh :

SUYITNO MASDAR
(TA MANAJEMEN KEUANGAN OC 7 NTB)